"Write it. Shoot it. Publish it. Crochet it, Saute it. Whatever. MAKE" - Joss Whedon
“SURABAYA
BAWAH TANAH Tidak penuh namun moment baik untuk reuni para mutant2 UG Surabaya
#gigs #underground #metalhead #monkasel”
Demikian salah seorang penonton bernama Singgih,
menggambarkan dalam akun pathnya, keadaan Acara “Surabaya Bawah Tanah #2” yang
digelar oleh komunitas Boneka Tanah pada hari Minggu 23 Agustus 2015, bertempat
di Monumen Kapal Selam Surabaya.
Secara kasat mata, acara tersebut memang tidak seramai hingar
bingar acara-acara dengan tema serupa yang digelar di tempat yang sama hampir
setiap bulan, namun apakah acara tersebut gagal? Secara finansial mungkin iya,
orang awam sekalipun pasti dengan mudahnya akan menemukan hitungan kasar berapa
kira-kira jumlah tiket yang terjual berbanding dengan berapa ongkos produksi
yang harus dikeluarkan untuk biaya sewa tempat, alat, sound, ijin
polisi,”sharing”tiket dengan Dispenda, dan banyak hal tak terduga lainnya.
Namun apabila kita mengesampingkan hal-hal yang berbau
finansial dan produksi, kita fokus pada penilaian terhadap acara. Maka acara
itu adalah acara yang sukses diusung sesuai dengan tema dan misi yang ingin
dicapai oleh Boneka Tanah, pun, acara berjalan tertib, lancar, damai, guyub,
tawa riang disana-sini, dan selesai tepat pada waktunya.
Tawa riang pengunjung terdengar di setiap sudut, mereka
yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu dengan teman-temannya,
bereuni, bahkan band-band yang sudah jarang munculpun kemarin terlihat sangat
antusias menghibur para pengunjung, sebut saja Kerangka, Klepto Opera, Blue
Kuthuq, the Sinners, nama-nama band yang sudah jarang muncul tersebut menyeruak
diantara nama-nama dari berbagai macam genre seperti Fear Inside, Ska Banton,
GAS, Plester X, Hate of Pain, Innalillahi, Reaktif, De Facto, Strom, dan
beberapa band yang membuka acara, ditutup oleh band kawakan ibukota Grausig.
Mengapa jika acara ini bagus, tiket tidak meledak
sesuai kapasitas monkasel yang mencapai 1000 orang pengunjung? Kita bisa
menganggap ini sebagai cermin, refleksi terhadap apa yang sedang terjadi di
Komunitas Bawah Tanah Surabaya, bahwa acara bagus tidak selalu berbanding
dengan hasil penjualan tiket, itu harus disadari.
Ibarat kopi, jika ingin kopi nikmat dengan kadar kafein
yang tinggi, maka diperlukan saringan kopi yang bagus. Kopi instan memang
penjualannya di pasaran bagus, angka penjualannya tinggi, namun itu tetaplah
kopi instan, entah berasal dari bubuk apa yang diberi serbuk perasa kopi, yang
hampir semua orang tidak peduli, mereka akan tetap menikmati kopi instan
tersebut, karena bombardir iklan di media-media.
Hampir semua, namun, meskipun pahit, penikmati kopi
murni tetaplah ada, mereka adalah orang-orang fanatik, kembali seperti halnya
scene, mereka akan terus berkarya, berbuat apapun untuk scene yang mereka
cintai.
(review by: Yoyon Sukaryono)
Photo by : Singgih Misterio @singgihmisterio
Blue Kuthuq |